Sertifikasi Non Akademik

Sertifikasi Non-Akademik itu apa, sih? Pernahkah kamu membaca nama seseorang dengan gelar tambahan di belakang namanya seperti, “Saskia Ratry Arsiwie, CPs., CT.NNLP., CT.HRNLP”? Ya, contoh tersebut diambil dari gelar non-akademik yang saya dapatkan dua tahun lalu. “C” berarti Certified yang menunjukkan bahwa saya telah tersertifikasi untuk bidang yang saya ambil pada gelar tersebut, yaitu Public Speaking (PS), Neuro Linguistic Programming (NLP), dan Human Resource Transofrmation NLP Approach (HRNLP). Apakah semua itu penting? Bagi saya, sangat penting. Bahkan tidak kalah pentingnya dengan gelar akademik yang kita tempuh di bangku kuliah. 

    Gelar non-akademik yang saya ambil tersebut, saya gunakan untuk meningkatkan kredibilitas saya di bidang public speaking dan training. Berhubung, pasca lulus kuliah saya memutuskan untuk bergelut di dunia training dan pengembangan diri, maka sertifikasi tersebut pada akhirnya jadi berguna untuk menunjang karir yang saya tempuh. Jika saya hanya mengandalkan gelar akademik saya, yaitu “S.Si” alias Sarjana Sains, apakah ketika saya tengah bekerja sebagai trainer, lantas gelar tersebut menambah kepercayaan audience kepada saya? Hmm, bisa jadi iya, namun bisa jadi juga tidak. Karena dengan gelar “S.Si”, tentu orang lain akan lebih yakin dan percaya jika saya bekerja di dalam laboratorium, sebagai seorang scientist. 

Kapan Waktu yang Tepat untuk Mengambil Sertifikasi? 

Jika kamu sudah mengetahui apa passionmu, bidang pekerjaan apa yang ingin kamu tekuni, atau bidang apa yang ingin kamu jalani dengan serius entah sebagai side job atau bisnis. Maka saran saya adalah, segeralah mengikuti training sertifikasi. Saya sendiri mengikuti sertifikasi selang satu minggu pasca wisuda sarjana. Sejak duduk di bangku kuliah, saya sudah menekuni dunia public speaking dan berencana untuk terjun secara serius disana. Hanya saja, karena dulu masih kuliah, jadi orang tua saya belum mengizinkan saya untuk benar-benar aktif disana. Setelah lulus, saya dipertemukan dengan lembaga Kuncoro Leadership Training & Consulting® yang berlokasi di Yogyakarta. Pada saat itu lembaga KLTC tengah membuka pendaftaran untuk program Training For Trainer Batch V. Melihat adanya program beasiswa untuk mengikuti TFT tersebut, tanpa ragu saya langsung mendaftarkan diri. 
 
Tidak tanggung-tanggung, 12 sertifikasi ditawarkan dari program TFT yang diselenggarakan selama 8 hari tersebut. Setelah melalui tahap demi tahap seleksi, akhirnya saya dinyatakan lolos sebagai peserta dan bersiap untuk terbang ke Yogyakarta. Dari program tersebut, saya mendapatkan salah satu gelar yaitu, “C.PS” sebagaimana yang saya tuju. Sehingga pasca training, saya sudah semakin percaya diri untuk mengisi kelas, workshop, talkshow ataupun seminar, karena gelar yang saya miliki. Tentu saja, dibalik gelar tersebut ada ilmu dan perjuangan yang saya tempuh. 
 

Berbeda dengan program akademik…

Program sertifikasi memang pada umumnya hanya dilaksanakan dalam jangka waktu yang tidak lama. Paling sebentar dalam 2 atau 3 hari. Dan yang paling lama pernah saya ikuti adalah 10 hari. Menariknya, program sertifikasi dirancang agar kita memiliki knowledge, attitude, dan skill yang mumpuni untuk melakukan suatu pekerjaan pada bidang yang kita tuju. Hanya saja, kamu harus pandai untuk memilah-milih lembaga penyelenggara sertifikasi tersebut. Jangan sampai salah memilih, dan hanya sekadar formalitas saja ya. 
 
Tentu kamu tahu, zaman sekarang semuanya serba mudah. Bahkan untuk mendapatkan sertifikat pun bukan lagi hal yang sulit. Akan tetapi, esensi dari mendapatkan sertifikasi bukan hanya untuk berlomba-lomba demi memperbanyak gelar, lho. Namun, untuk menambah ilmu kita, dan kredibilitas kita sebagai seseorang yang ahli di bidang tertentu. Maka dari itu, kita juga butuh ilmu yang cukup. 
 
Ketika kamu akan memilih lembaga untuk mengikuti program sertifikasi, lakukanlah riset terlebih dahulu. Kroscek dulu lembaga yang kamu pilih melalui website resmi, dan media sosialnya. Kamu juga bisa menilai bagaimana program yang dirancang dari testimoni peserta, dokumentasi kegiatan sebelumnya, kurikulum programnya, hingga output yang ditawarkan.